Palangka Raya – Dugaan adanya tindakan pemerasan yang dilakukan oleh oknum wartawan berinisial MH terhadap salah satu pejabat di RSUD Doris Sylvanus Palangka Raya kini menjadi perhatian publik. Jika benar terbukti adanya tindakan pemerasan, maka perbuatan tersebut dapat dijerat dengan ketentuan Pasal 368 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam pasal tersebut disebutkan, “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu, membayar atau menghapuskan utang, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Namun, apabila tindakan tersebut dilakukan dengan ancaman akan menyebarkan informasi atau mencemarkan nama baik korban, maka dapat pula dijerat Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pasal itu menyebut, “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau mentransmisikan informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Meski demikian, seorang praktisi hukum Suriansyah Halim menilai perlu pembuktian lebih lanjut terkait terpenuhinya unsur “memaksa dengan ancaman” dan “menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum”.
“Apabila hanya berupa permintaan uang tanpa adanya ancaman atau tekanan, maka kasus tersebut lebih tepat dikategorikan sebagai pelanggaran etik jurnalistik, bukan pidana,” ujar HalimSorotan terhadap Akun TikTok @beritakaltengterkini
Kasus ini juga menyeret nama akun media sosial @beritakaltengterkini yang disebut-sebut menyebarkan informasi bahwa oknum MH merupakan anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalimantan Tengah. Pernyataan tersebut telah dibantah langsung oleh Ketua PWI Kalteng.
Jika informasi yang disebarkan akun tersebut terbukti tidak benar dan menyesatkan publik, maka dapat dijerat Pasal 28 ayat (1) dan (2) jo Pasal 45A ayat (1) dan (2) UU ITE.
Pasal tersebut mengatur larangan penyebaran berita bohong yang merugikan masyarakat serta penyebaran informasi yang menimbulkan kebencian atau permusuhan antarindividu atau kelompok.
Namun demikian, menurut praktisi hukum, penegakan hukum terhadap konten di media sosial perlu mempertimbangkan itikad baik, konteks penyampaian, serta dampak nyata dari informasi tersebut. Langkah awal yang dapat ditempuh oleh pihak yang dirugikan adalah melalui klarifikasi dan somasi sebelum menempuh jalur pidana.
Himbauan kepada Masyarakat
Sebagai praktisi hukum, ia mengimbau masyarakat agar:
Bijak menerima informasi, terutama dari media sosial yang belum tentu terverifikasi.
Selalu memeriksa sumber dan melakukan klarifikasi sebelum membagikan informasi yang berpotensi menyesatkan.
Menghormati asas praduga tak bersalah, tidak langsung menghakimi sebelum ada keputusan hukum yang sah.
Melaporkan kepada pihak berwenang apabila menemukan konten yang mengandung hoaks, fitnah, atau penggiringan opini yang dapat merusak reputasi pihak tertentu.(*/rls/sgn/red)


