Martapura – Di antara jutaan langkah yang setiap tahun menuju Sekumpul, ada satu keyakinan yang terus hidup di hati para jemaah: cinta kepada Abah Guru Sekumpul tak pernah mengenal jarak, bahkan tak berhenti oleh kematian.
KH Muhammad Zaini bin Abdul Ghani, atau yang akrab disapa Abah Guru Sekumpul, bukan sekadar nama dalam sejarah keulamaan Nusantara. Bagi banyak orang, beliau adalah cahaya penuntun—ulama yang mengajarkan agama dengan kelembutan, akhlak dengan keteladanan, dan dakwah dengan cinta.
Dalam tradisi Islam, ulama disebut warasatul anbiya’, pewaris para nabi. Gelar itu tidak lahir dari popularitas, melainkan dari laku hidup yang penuh kesalehan. Abah Guru Sekumpul mewariskan ilmu bukan hanya lewat majelis dan kitab, tetapi melalui sikap hidup yang membumi dan menyentuh hati umat.
Lahir di Desa Tunggul Irang, Martapura, pada 19 Januari 1942, Abah Guru Sekumpul tumbuh dalam lingkungan ulama besar. Beliau merupakan keturunan keempat Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, sosok yang meletakkan fondasi keislaman di Tanah Banjar. Dari jalur inilah, ilmu dan adab diwariskan, dirawat, lalu disebarkan dengan penuh ketulusan.
Karomah dan Kepedulian yang Melampaui Batas
Bagi para jemaah, karomah Abah Guru Sekumpul bukanlah cerita tentang keajaiban semata, melainkan tentang kepedulian yang lahir dari cinta kepada sesama. Salah satu kisah yang sering dibisikkan dengan haru adalah tentang bantuan kepada rakyat Palestina.
Dikisahkan, pada September 2015, di tengah kepungan perang dan ribuan warga Palestina yang berlindung di kompleks Masjidil Aqsa tanpa makanan, hadir seorang syekh rupawan membawa dana besar untuk membeli bahan pangan. Kesaksian demi kesaksian menyebut jumlahnya mencapai ratusan juta rupiah, cukup untuk menghidupi ribuan pengungsi.
Yang membuat kisah ini menggugah, sosok syekh tersebut diyakini banyak pihak sebagai Abah Guru Sekumpul—padahal beliau telah wafat hampir sepuluh tahun sebelumnya. Bagi para pecinta Abah, kisah ini bukan soal masuk akal atau tidak, melainkan tentang keyakinan bahwa pertolongan Allah datang melalui hamba-hamba pilihan-Nya.
Keyakinan itu semakin menguat setelah seorang imam muda Masjidil Aqsa mengisahkan pertemuannya dengan ulama Banjar, KH Saifuddin Zain, pada Januari 2016. Sang imam mengaku tak mampu menjelaskan bagaimana seorang asing bisa memasuki Palestina di tengah penutupan ketat, lalu menyalurkan bantuan besar dengan tenang, seolah tak ada penghalang.
Kasih Sayang untuk Mereka yang Terlupa
Karomah Abah Guru Sekumpul juga hadir dalam kisah-kisah kecil yang sarat makna. Salah satunya tentang seorang penjudi yang wafat dalam kesepian. Tak ada pelayat, tak ada yang mengurus jenazah, selain istri dan anaknya yang diliputi duka dan ketakutan.
Dalam keheningan doa, sang istri memohon petunjuk kepada Allah. Dalam kisah yang hidup di tengah masyarakat, Abah Guru Sekumpul disebut hadir membantu pengurusan jenazah tersebut. Sebuah peristiwa yang dipahami para jemaah sebagai pesan sunyi: pintu rahmat Allah selalu terbuka, bahkan bagi mereka yang pernah tersesat.
Warisan yang Terus Menyala
Kedekatan Abah Guru Sekumpul dengan banyak tokoh bangsa, termasuk Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), menjadi penanda bahwa dakwah beliau melintasi sekat sosial dan politik. Namun, bagi para jemaah, kebesaran Abah justru terletak pada kesederhanaannya—pada senyum yang menenangkan dan nasihat yang menyejukkan.
Hari ini, makam Abah Guru Sekumpul tak pernah sepi dari doa. Jutaan orang datang bukan hanya untuk mengenang, tetapi untuk meneguhkan kembali cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana yang diajarkan Abah sepanjang hidupnya.
Abah Guru Sekumpul telah wafat, tetapi jejak cintanya tetap berjalan. Ia hidup dalam doa-doa yang dipanjatkan lirih, dalam langkah-langkah peziarah yang tak lelah, dan dalam keyakinan bahwa cinta kepada para wali adalah jalan menuju cinta kepada Allah. /(Tim)

