LINTASKALANTAN.CO || Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi RI, Nadiem Makarim menyampaikan pernyataan tentang 3 (tiga) dosa besar di Pendidikan yang ingin dihapus, yaitu Kekerasan, Kekerasan Seksual dan Intoleransi. Keinginan KemendikbudRistek untuk menghapus 3 dosa besar bukan tanpa alasan kuat, karena faktanya banyak terjadi, diantaranya adalah dugaan kuat kasus intoleransi di salah satu SDN di kota Tarakan, Kalimantan Utara.
Ada 3 kakak beradik yang beragama Saksi Yehuwa yang tidak naik kelas selama 3 (tiga) tahun berturut-turut karena permasalahan nilai agama di rapor. Ketiganya bersekolah di SDN 051 Kota Tarakan, Kalimantan Utara. Ketiga adik kakak tersebut bernama M (14 tahun) kelas 5 SD; Y(13 tahun) kelas 4 SD; dan YT (11 tahun) kelas 2 SD. Mereka tidak naik kelas pada tahun ajaran 2018/2019; lalu tahun ajaran 2019/2020; dan tahun ajaran 2020/2021.
“Orangtua korban membuat pengaduan ke KPAI dan atas pengaduan tersebut, KPAI segera melakukan koordinasi dengan Itjen KemendikbudRistek untuk pemantauan bersama ke Tarakan,”ungkap Retno Listyarti, Komisioner KPAI yang diterima Redaksi Lintaskalimantan.co melalui rilis persnya. Senin (22/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Adapun alasan tidak naik kelas ketiga anak tersebut berbeda-beda alasannya setiap tahun. Mulai dari sekolah menolak memberikan pelajaran agama pada ketiga anak tersebut sampai anak diminta menyanyikan lagu rohani yang tidak sesuai dengan keyakinannya.
Atas keputusan sekolah, orangtua anak korban melakukan perlawanan ke jalur hukum, mereka selalu menang di Pengadilan Tata Usaha Negara, namun pihak sekolah selalu punya cara setiap tahun untuk tidak menaikan ketiga anak tersebut. Keputusan ke jalur hukum ditempuh orantua korban lantaran jalur dialog dan mediasi menemui jalur buntu;
Secara psikologi, anak sudah sangat terpukul, mulai kehilangan semangat belajar, merasa malu dengan teman-teman sebaya karena sudah tertinggal kelas selama 3 tahun berturut-turut, bukan karena mereka tidak pandai akademik, namun karena perlakuan diskriminasi atas keyakinan yang mereka anut. Padahal anak hanya mengikuti keyakinan orangtuanya.
“Ketiga anak sudah menyatakan dalam zoom meeting dengan KPAI dan Itjen KemendikbudRistek, bahwa mereka tidak mau melanjutkan sekolah jika mereka tidak naik kelas lagi untuk keempat kalinya,” ungkap Retno yang juga menjadi penanggungjawab Tim Pemantauan Kasus Intoleransi di Tarakan atas penugasan Itjen KemendikbudRistek.
Tinggal Kelas Kali Pertama (2018-2019) : Dianggap Absen tanpa keterangan
Ketiga anak tidak naik kelas karena dianggap tidak hadir tanpa alasan selama lebih dari 3 bulan. Padahal, ketiga anak tersebut tidak hadir karena dikeluarkan dari sekolah dan baru dapat kembali setelah penetapan PTUN Samarinda.
Pada 15 Desember 2018. Keputusan sekolah secara resmi mengeluarkan ketiga anak dari sekolah. Sejak ini, ketiga anak tidak diperbolehkan ikut kegiatan belajar mengajar. Kemudian pada 16 April 2019, melalui penetapan PTUN Samarinda (putusan sela) ketiga anak dikembalikan ke sekolah, hingga putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Pada Kenaikan kelas tahun ajaran 2018-2019. Anak-anak tinggal kelas.
Lalu, pada 8 Agustus 2019, Putusan PTUN Samarinda membatalkan keputusan sekolah, karena terbukti melanggar hak-hak anak atas pendidikan dan kebebasan melaksanakan keyakinannya. Mengeluarkan anak-anak dari sekolah, menghukum mereka, menganggap pelaksanaan keyakinannya sebagai pelanggaran hukum adalah tidak sejalan dengan perlindungan konstitusi atas keyakinan agama dan ibadah. Juga merupakan bentuk intoleransi di lingkungan pendidikan. PTUN memutuskan mengembalikan anak ke sekolah.
“Meski hak-hak ketiga anak atas keyakinan beragama dan pendidikan dihormati dan diteguhkan di PTUN, sehingga mereka kembali ke sekolah, namun mereka diperlakukan secara tidak adil karena tidak naik kelas untuk alasan yang tidak sah”, ungkap Retno.
Tinggal Kelas Kali Kedua (2019-2020) : Tidak diberikan pelajaran Agama dan tidak punya nilai Agama
Sejak ketiga anak kembali ke sekolah melalui putusan PTUN Samarinda, ketiga anak dibiarkan tanpa akses pada kelas pendidikan Agama Kristen yang disediakan sekolah. AT (orangtua ketiga anak korban) telah berulangkali meminta agar anak-anak diberikan pelajaran Agama Kristen, agar bisa naik kelas, namun itu dipersulit dengan berbagai syarat yang tidak berdasar hukum. Keadaan mana terus dibiarkan oleh sekolah hingga akhir tahun ajaran, ketiga anak tidak naik kelas karena tidak punya nilai pelajaran Agama Kristen.
“Selama tahun ajaran 2019-2020, Bapak AT terus berupaya meminta agar ketiga anaknya diberikan akses pendidikan Agama dari pihak sekolah. AT tidak pernah menolak kelas Agama Kristen tersebut, bahkan memintanya,” ujar Retno.
Retno menambahkan, Sekolah mensyaratkan agar Bapak AT mendapatkan rekomendasi dari Bimans Kristen Kota Tarakan agar dapat akses pada pelajaran Agama Kristen. Hal mana dilakukan oleh Bapak Tunbonat, hingga mendapatkan Surat Rekomendasi dari Kementerian Agama No.: B.017/KK.34.03/6/BA.03/01/2020 tanggal 3 Januari 2020.
Ibu DR yang merupakan Guru Pendidikan Jasmani dan Pembimbing Pendidikan Agama Kristen SDN 051, mengakui bahwa sejak awal tahun 2019, bapak AT sudah terus menemuinya untuk memohon agar ketiga anaknya dilibatkan dalam pelajaran Agama di sekolah, namun dirinya keberatan karena adanya perbedaan akidah dan ajaran antara keyakinannya dan agama ketiga anak sebagai Kristen Saksi-Saksi Yehuwa.
Karena ketiadaan pelajaran Agama, Sidang Jemaat Kristen Saksi-Saksi Yehuwa Tarakan pernah mengeluarkan surat tertanggal 20 Juli 2021, yang menerangkan bahwa selama tahun ajaran 2019-2020, ketiga anak tersebut belajar Agama di tempat ibadahnya. Meskipun seharusnya itu bisa dipertimbangkan sebagai sumber pendidikan Agama dari Lembaga masyarakat (non-formal), namun sekolah mengabaikannya dan tetap memutuskan agar ketiga anak tidak naik kelas.
“Sekolah telah melanggar hukum dengan sama sekali tidak memberikan pelajaran Agama, menetapkan syarat-syarat yang tidak berdasar hukum, serta mempersoalkan keyakinan Agama dari ketiga anak”, ujar Retno.
Retno menambahkan, “Sekolah bukan hanya tidak mampu memberikan pendidikan Agama dari guru yang seagama bagi ketiga anak tersebut, sebagaimana ketentuan dalam peraturan perundangan, namun dengan aktif menghalangi ketiga anak mendapatkannya.
Pada kasus kedua ini, PTUN Samarinda memutuskan bahwa keputusan sekolah untuk membuat ketiga anak tidak naik kelas karena pelajaran Agama adalah keputusan yang keliru, dilatarbelakangi pada tindakan diskriminatif yang tidak menghormati hak ketiga anak atas keyakinan agama dan pendidikan yang berkelanjutan.
Atas keputusan PTUN tersebut, sekolah mengajukan banding atas putusan tersebut dan sekarang sedang dalam proses Kasasi. Meski tahun ajaran 2019-2020 berakhir, ketiga anak tersebut masih belum naik kelas.
Tinggal Kelas Kali Ketiga (2020-2021) : Nilai Agama rendah /lagu rohani
Kali ini, meski telah diberikan pelajaran Agama (karena permohonan orang tua), ketiga anak diberikan nilai Agama yang rendah sehingga tidak naik kelas. Ketiga anak dipaksa menyanyikan lagu rohani, meskipun sang guru tahu bahwa itu tidak sesuai dengan akidah dan keyakinan agamanya. Karena tidak dapat melakukannya, ketiga anak diberi nilai rendah dan tidak naik kelas lagi.
Sejak awal tahun ajaran, ketiga anak masih tidak diberikan pelajaran Agama. Pada 17 Maret 2021. Surat permohonan orang tua agar diberikan pelajaran Agama Kristen oleh sekolah. Kemudian, pada 25 Maret 2021. Ketiga anak diijinkan ikut pelajaran Agama, yang diajar oleh Ibu Deborah.
Pada 6 Mei 2021. Permohonan orang tua untuk ujian susulan tengah semester 1 dan akhir semester 1. Hal ini dimohonkan karena anak-anak baru diberikan pelajaran Agama setelah semester 1 berlalu, sehingga perlu ujian susulan agar tidak ada alasan tidak naik kelas. Lalu, 21 Juni 2021. Setelah berbagai komunikasi, akhirnya ketiga anak diberikan ujian susulan.
Selanjutnya pada 24 Juni 2021. Ujian praktek pelajaran Agama, anak-anak diminta menyanyikan lagu rohani. Karena tidak sesuai dengan akidah agamanya, ketiga anak menawarkan lagu rohani lain, sesuai dengan Alkitab, namun ditolak. Komunikasi mengenai hal ini terus berlanjut melalui WA, hingga akhirnya mereka semua tidak naik kelas lagi.
Akhirnya pada 31 Juli 2021. Rapot ketiga anak terbit. Mereka mendapatkan rapor, setelah berminggu-minggu tahun ajaran baru mulai dan ketiga anak tidak diperbolehkan masuk kelas. Ketiga anak kembali tidak naik kelas.
Kegiatan belajar mengajar dari ketiga anak tersebut, tugas yang mereka kerjakan, kelas yang mereka hadiri, semuanya sia-sia hanya karena mereka mempertahankan dan menjaga keyakinan agamanya mengenai lagu rohani. Di sisi lain, sekolah mengabaikan semua hal itu serta bahkan tidak mempertimbangkan sama sekali keyakinan Agama dan ibadah dari ketiga anak tersebut atas lagu rohani.
Rencana Tindak Lanjut
Sekolah di duga kuat melakukan pelanggaran atas sejumlah peraturan perundangan, karena :
(1) Menghalangi ketiga anak mendapatkan pendidikan Agama yang seagama. Padahal Undang-Undang menetapkan hal ini sebagai hak dasar dari peserta didik;
(2) Mempersulit ketiga anak untuk mendapatkan pendidikan dasar. Padahal Undang- undang menetapkan tanggung jawab negara untuk memberikan akses seluas-luasnya atas pendidikan, bukan mempersulitnya.
(3) Tidak mempertimbangkan dampak permanen atas mental dan motivasi belajar siswa. Padahal Undang-Undang menetapkan tanggung jawab negara untuk membuat suasana yang kondusif dalam dunia pendidikan.
(4) Tidak memberikan toleransi pada pelaksanaan keyakinan Agama ketiga anak di lingkungan pendidikan SDN 051.
(5) Menghambat tumbuh kembang ketiga anak. Padahal hak tumbuh kembang merupakan salah satu hak fundamental yang dijamin hukum, dan diimplementasikan dari program pendidikan yang berkelanjutan, bukan mengulangnnya terus hingga 3 tahun. Tidak ada alasan yang urgent/mendesak hingga membuat ketiga anak tinggal kelas terus.
Atas dasar dugaan pelanggaran-pelanggaran tersebut, maka Itjen KemendikbudRistek bersama Komisi Perlindungan anak Indonesia (KPAI) akan melakukan pemantauan langsung ke Tarakan pada 22-26 November 2021. Tim Pemantauan akan bertemu dengan sejumlah pihak, mulai dari orangtua pengadu dan anak-anaknya, pihak sekolah, Dinas Pendidikan Kota Tarakan, Inspektorat Kota Tarakan dan LPMP Kalimantan Utara.
“Itjen KemendikbudRistek juga sudah mengajukan permohonan kepada Walikota Tarakan untuk difasilitasi rapat koordinasi sekaligus FGD dengan seluruh intansi terkait di Kantor Walikota, termasuk Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk melakukan rehabilitasi psikologis terhadap ke-3 anak korban,” pungkas Retno, (*/rls/KPAI/red)