LINTAS KALIMANTAN| Tantangan dan ancaman nasional terus berubah seiring dengan perubahan zaman yang banyak dipengaruhi oleh atribut perkembangan teknologi dan kepentingan nasional masing – masing negara. Semua instrumen teknologi akan digerakan agar menghasilkan nilai yang maksimal bagi kepentingan nasionalnya. Hal ini tampak jelas dari dinamisnya perubahan lingkungan strategis yang cepat sekali berubah. Disinilah peran intelijen profesional sangat penting untuk senantiasa mencermati setiap perubahan dan perkembangan, terutama yang bisa berdampak bagi kepentingan nasional. Untuk itulah, sangat dibutuhkan uji psikologi bagi para calon intelijen. Baik intelijen analis maupun agen intelijen lapangan “, ujar Pemerhati Intelijen Dede Farhan Aulawi di Bandung, Sabtu (7/6).
Hal tersebut ia jelaskan saat ditanya mengenai rencana uji psikologi calon intelijen bela negara yang berbasis pada para pendekar, yaitu warga masyarakat yang telah memiliki keahlian bela diri baik Pencak Silat (Indonesia), Karate (Jepang), Taekwondo (Korea), Kung Fu (Cina), Judo (Jepang), Muay Thai (Thailand), Boxing (Inggris), Hapkido (Korea Selatan), Aikido (Jepang), dan Capoeira (Brasil) serta seni bela diri lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurutnya, 3 ciri khas dari intelijen profesional adalah kemampuan bela diri, keterampilan menggunakan senjata dan peralatan intelijen lainnya, adaptasi pengetahuan dan seni intelijen yang terus berkembang. Dengan demikian intelijen profesional akan ditandai oleh kemampuan untuk selalu belajar, banyak membaca, dan rajin berlatih serta senang bergaul dengan segala atribut seni peran. Jika ia malas membaca, malas belajar dan malas berlatih maka pasti ia tidak akan bisa menjadi insan Intelijen Profesional.
Perlu diingat bahwa Intelijen tidak hanya berkutat pada fakta dan angka, tetapi juga pada pemahaman mendalam tentang perilaku manusia. Dalam dunia intelijen, memahami motif, niat, dan potensi ancaman yang ditimbulkan oleh individu atau kelompok sangat bergantung pada prinsip-prinsip psikologi. Keahlian dalam psikologi forensik, analisis kepribadian, dan pemahaman psikologi sosial dapat membantu menganalisis informasi yang diperoleh dari berbagai sumber, baik itu individu yang terlibat dalam kegiatan terorisme, spionase, maupun pelaku kejahatan lainnya.
Psikologi menjadi alat bagi agen intelijen untuk mengidentifikasi potensi ancaman melalui analisis psikologis yang mendalam. Sebagai contoh, dalam menilai seorang individu yang berpotensi menjadi mata-mata atau agen teroris, psikolog dapat memanfaatkan wawancara, tes psikologi, serta observasi perilaku untuk mengidentifikasi tanda-tanda perilaku yang mencurigakan. Ini akan memperkuat kemampuan intelijen dalam menganalisis data yang diperoleh, sehingga meminimalisir kesalahan dalam pengambilan keputusan.
Itulah sebabnya dalam dunia intelijen, seleksi dan pelatihan agen sangat bergantung pada evaluasi psikologis yang komprehensif. Agen intelijen harus memiliki ketahanan mental yang luar biasa, kemampuan untuk bekerja di bawah tekanan, serta keahlian dalam memanipulasi situasi sosial. Oleh karena itu, psikologi memiliki peran yang sangat besar dalam proses seleksi dan pelatihan. Disinilah penggunaan tes psikologi dapat digunakan untuk menilai kepribadian, kecerdasan emosional, serta kecerdasan analitis calon agen. Selain itu, pelatihan berbasis psikologi yang mengajarkan keterampilan pengelolaan stres, pengambilan keputusan dalam situasi krisis, serta teknik untuk memahami psikologi orang lain, sangat membantu dalam mempersiapkan agen intelijen untuk menghadapi berbagai tugas yang sangat menantang. Bahkan mengasah kemampuan improvisasi sesuai keadaan yang terjadi di lapangan berbasis kreativitas yang bertanggung jawab.
“ Selain itu, pelatihan dan uji psikologis juga membantu meningkatkan kemampuan dalam berinteraksi dengan sumber informasi (informan) serta dalam melaksanakan teknik-teknik wawancara yang efektif, seperti wawancara motivasional atau wawancara berbasis kognitif. Dengan demikian, agen intelijen dapat mengumpulkan informasi yang lebih akurat dan relevan dari berbagai sumber, serta memperbaiki kualitas pengambilan keputusan mereka dalam situasi yang penuh tekanan “, imbuh Dede.
Kemudian Dede juga menambahkan bahwa pengujian psikologi calon agen intelijen pada hakikatnya merupakan sekumpulan tugas dan ujian yang dirancang untuk mengukur kapasitas kognitif seperti penalaran abstrak, kemampuan memecahkan masalah, dan kemampuan meningkatkan pengetahuan. Struktur spesifik pengujian ini bergantung pada definisi kecerdasan yang dianut oleh masing-masing psikometrik. Jenis tes kecerdasan yang paling menonjol adalah Tes Binet-Simon, Skala Kecerdasan Stanford-Binet, Skala Kecerdasan Dewasa Wechsler (WAIS), dan Matriks Progresif Raven. Semua tes ini menggunakan serangkaian subtes untuk menghasilkan rasio yang menunjukkan tingkat kecerdasan seseorang. Inilah salah satu metode ‘The Value of IQ Testing’ yang rencananya akan diujikan besok hari “, imbuh Dede.
“ Terdapat empat skor indeks yang mewakili komponen utama kecerdasan, yaitu Indeks Pemahaman Verbal (VCI), Indeks Penalaran Perseptual (PRI), Indeks Memori Kerja (WMI), dan Indeks Kecepatan Pemrosesan (PSI). Sementara itu, ada 2 skor umum, yang dapat digunakan untuk meringkas kemampuan intelektual yaitu, IQ Skala Penuh (FSIQ) dan Indeks Kemampuan Umum (GAI). IQ Skala Penuh (FSIQ), berdasarkan kinerja gabungan total VCI, PRI, WMI, dan PSI. Indeks Kemampuan Umum (GAI), hanya berdasarkan enam subtes yang terdiri dari VCI dan PRI. Hal ini dimaksudkan untuk menggambarkan gambaran kecerdasan umum yang kurang dipengaruhi oleh memori kerja dan tuntutan kecepatan pemrosesan “, pungkasnya mengakhiri komentar.
Referensi :
– Carroll, J. B. (1982). The measurement of intelligence. In R. J. Sternberg (Ed.), Handbook of human intelligence (pp. 29–120). New York: Cambridge University Press.
– Davidson P.E. The social significance of the army intelligence findings. Sci. Mon. 1923;16:184–193.
– Hunt, W. A., & Stevenson, I. (1946). Psychological testing in military clinical psychology: I. Intelligence testing. Psychological Review, 53(1), 25–35.
– Kevles D.J. Testing the army’s intelligence: Psychologists and the military in World War I. J. Am. Hist. 1968;55:565–581
– Terman, L. M. (1918). The use of intelligence tests in the army. Psychological Bulletin, 15(6), 177–187.
– Yerkes R.M. Psychological Examining in the United States Army. Government Printing Office; Washington, DC, USA: 1921.
– Yoakum, C. S., & Yerkes, R. M. (1920). Army mental tests. New York: Henry Holt and Company.