LINTAS KALIMANTAN II Sejumlah warga dari Kecamatan Lahei dan Lahei Barat, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, melayangkan protes keras terhadap aktivitas penambangan batu bara yang dilakukan PT PADA IDI di atas lahan adat mereka. Warga menilai penambangan tersebut dilakukan tanpa sosialisasi, verifikasi kepemilikan, maupun pemberian kompensasi yang layak.
Mereka menyebut aktivitas tersebut telah melanggar hak ulayat masyarakat adat Dayak yang selama ini menguasai dan mengelola wilayah itu secara turun-temurun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kami tidak pernah dilibatkan. Tiba-tiba kebun dibuka, hutan dibersihkan, dan ditambang. Tidak ada ganti rugi sepeser pun,” kata Junaidi, salah satu pemilik lahan, kepada wartawan, Rabu (29/5).
Junaidi menyebut lahannya seluas 72 hektare kini telah ditambang sekitar 80 persen. Nasib serupa juga dialami warga lain seperti Rudi Hartono (39,11 ha), Toni Efendi (63,06 ha), dan Isah (50,53 ha), yang lahan-lahannya turut terdampak penambangan.
Tak Ada Sosialisasi, Tak Ada Ganti Rugi
Warga telah mengirimkan surat keberatan ke Polres Barito Utara dengan melampirkan dokumen legal seperti surat keterangan tanah, riwayat pelimpahan, serta bukti penguasaan berdasarkan hukum adat. Lahan-lahan tersebut sebelumnya ditanami berbagai komoditas lokal seperti karet, durian, jengkol, dan rotan. Sebagian area bahkan berdekatan dengan hutan alam yang memiliki vegetasi endemik Kalimantan seperti ulin, meranti, dan keruing.
Janji Kompensasi Tak Kunjung Dipenuhi
Warga mengungkap bahwa pihak perusahaan sempat berjanji akan memberikan kompensasi pada 14 Desember 2024, dengan target penyelesaian dalam tiga hari apabila tidak ditemukan konflik kepemilikan. Namun hingga akhir Mei 2025, janji tersebut belum juga direalisasikan.
Alih-alih menyelesaikan sengketa, sejumlah warga justru dilaporkan ke Polsek Lahei pada Februari 2025 atas dugaan pelanggaran terkait klaim lahan. Meski telah dilakukan pemeriksaan, mediasi antara warga dan perusahaan tak kunjung digelar. Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dilaksanakan DPRD Barito Utara pada April 2025 pun belum menghasilkan solusi konkret.
Warga Ancam Pasang “Bembeng Adat”
Merasa diabaikan, warga kini mengajukan permohonan resmi kepada Kapolres Barito Utara untuk melakukan pemasangan simbol adat Bembeng, penanda sakral dalam budaya Dayak yang menunjukkan adanya pelanggaran berat terhadap wilayah adat.
“Kalau dalam tujuh hari tidak ada respon, kami akan pasang Bembeng. Ini simbol perlawanan adat kami,” tegas Rudi Hartono.
Tuntut Mediasi dan Kompensasi
Warga mendesak dilakukan verifikasi ulang terhadap seluruh lahan yang telah ditambang, dengan melibatkan unsur pemerintah desa, kepolisian, lembaga adat, dan DPRD. Mereka juga meminta agar kompensasi diberikan sesuai dengan kerugian material maupun non-material yang mereka alami.
Hingga berita ini diturunkan, pihak PT PADA IDI belum memberikan tanggapan resmi atas protes yang dilayangkan warga.(Red)