LINTASKALIMANTAN.CO || Permainan orang meninggal atau biasa dikenal dengan Usik Liyau, merupakan tradisi suka Dayak penganut kepercayaan Hindu Kaharingan di kalangan Masyarakat Adat Dayak Kalimantan Tengah (Kalteng), termasuk juga di wilayah DAS Barito.
Demikian dinyatakan Damang Kepala Adat Dusun Selatan, Adrianson dalam diskusi tentang Adat, Tradisi dan Budaya di Kalteng, Khususnya DAS Barito, yang dihadiri tokoh masyarakat, unsur ormas dan polri di aula Makolpores lama. Jalan Tugu, Buntok, Kab. Barito Selatan, Sabtu (17/9/2022)
“Permainan Usik Liyau adalah tradisi yang merupakan budaya leluhur dalam upacara adat kematian, khas suku Dayak penganut kepercayaan Hindu Kaharingan,” tegas Ardianson.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam ritual kematian itu, kata dia memang banyak tahapannya, mulai dari memandikan mayat atau jenasah, ritual ibadah hingga sampai prosesi terakhir yaitu penguburan/ pemakaman.
Usik Liyau sendiri, biasanya dimainkan oleh pelayat atau keluarga yang tujuannya menghibur keluarga duka. Jenisnya, bisa dadu gurak/ pusing, permainan kartu remi/domino dengan menggunakan uang, karena itu merupakan tradisi.
Uang digunakan sebagai penyemangat permainan. Bagi yang menang wajib menyerahkan sebagian kemenangannya membantu keluarga duka, untuk meringankan beban mereka dalam hal biaya pada upacara kematian tersebut.
“Usik Liyau, bukan judi untuk mendapatkan keuntungan pribadi bahkan untuk memperkaya diri. Ini yang harus digarisbawahi, agar tidak terjadi kesalahpahaman di tengah masyarakat,” tegasnya lagi.
Bagi masyarakat Dayak, jelas Ardianson nilai -nilai adat dan budaya, termasuk Usik Liyau adalah warisan turun-temurun dari nenek moyang yang tidak bisa dihilangkan.
Namun demikian, pintanya mantir-mantir adat sebagai penyelenggara upacara adat hendaknya berkoordiansi dulu, agar tidak berbenturan dengan aturan hukum postif.
Selaku Damang, ia meluruskan tentang aturan adat, bersama para mantir adat, aparat penegak hukum lainnya. Karena hal itu, menurutnya sangat sensitif. Jadi harus didampingi mantir dan Majelis Adat Hindu Kaharingan.
Apalagi di tengah keberagaman suku, agama, adat isitadat, tradisi di tengah masyarakat modern saat ini, perlunya pemahaman dan sinergitas dengan pemerintah.
“Disini lah pentingnya persamaan persepsi antara kearifan lokal, hukum adat dan hukum positif, agar semuanya berjalan sinergis, harmonis dan saling melengkapi,“ demikian Ardianson. (gs/red/klk)