KUTAI BARAT || Mediasi antara Dibar dan Syaharin warga Kampung Besiq kecamatan Damai kabupaten Kutai Barat dengan PT Ketapang Hijau Lestari (KHL) serta Stepanus Muharam berakhir buntu.
Pasalnya Dibar dan Syaharin keluar dari forum rapat mediasi yang berpusat di Kantor Polsek Damai, Kamis (11/11) kemarin.
Lantas apa alasan keduanya walk out dari forum mediasi terkait pembayaran tali asih lahan sawit tersebut?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Sebenarnya kami dua tidak ada niat keluar dari ruang mediasi kemarin itu. Tetapi setelah kami mendengar dari beberapa pihak yang berbicara di situ termasuk Kapolsek sendiri, pihak penggelobal dan pihak perusahaan tidak ada titik temunya juga. Karena mereka bersikeras ke pengadilan,” jelas Dibar.
Dibar merasa mediasi yang dipimpin Kapolsek Damai Iptu Sunarto dan Kepala Staf Kodim 0912/Kubar Mayor Czi Vispayudha Auguzta itu sia-sia belaka.
“Kenapa kami harus keluar karena menurut kami dua mediasi itu sia-sia tidak akan ada titik temunya, tidak ada jalan keluarnya. Karena kalau kami dengar itu semua menekankan kami itu ke pengadilan.
Maka oleh sebab itu daripada kami buang-buang waktu disitu lebih baik kami keluar dari situ. Takut sampai nantinya kalau lama-lama di situ nanti ada hal-hal tidak diinginkan kami juga tidak mau, karena kami ini masyarakat biasa sebaiknya kami dua keluar,” ungkapnya.
Selain itu dua kakak beradik itu mengaku permintaan mereka untuk membatalkan tanda tangan berita acara hasil mediasi di Polsek Damai 16 Agustus 2019 silam juga tidak digubris.
Menurut mereka, berita acara dua tahun lalu itu jadi salah satu pangkal masalah penghilangan hak kelola secara turun temurun.
Pasalnya salah satu isinya adalah “Stepanus Muharam L dan Dibar mengaku memiliki lokasi tanah yang sama namun yang memiliki legalitas surat adalah Stepanus Muharam, sehingga Stepanus Muharam memiliki hak melakukan kemitraan dengan PT KHL.
“Karena setelah saya klarifikasi, ternyata di situ saya lihat itu merugikan kami. Mana mungkin kami mau kalau hak kami itu di global orang lain di surat pak Muharam itu. Sementara itu murni hak kelola orang tua kami,” beber Dibar dan Syaharin.
Dibar menyebut tanah warisan keluarga mereka ada di sejumlah titik di kampung Besiq dan masuk dalam lokasi Hak Guna Usaha (HGU) PT KHL. Termasuk lokasi yang kini ditempati adiknya Syaharin seluas kurang lebih 93 ha.
Namun tiba-tiba Stepanus Muharam membuat Surat Pernyataan Penguasaan/Pemilikan Atas Tanah (SPPAT) di kantor desa Besiq dan memasukan tanah Dibar dan Syaharin dalam surat tanahnya. Bahkan Stepanus kini memiliki lahan seluas 676,5 Hektare, dan sudah diserahkan ke PT KHL untuk dijadikan lahan sawit.
Sementara mereka tidak pernah melepaskan tanah kelola turun temurun itu ke pihak manapun.
“Karena kami berpikir setiap orang itu tidak mau kalau hak mereka itu di global oleh siapapun atau dijual oleh siapapun, diatasnamakan. Kira-kira terima nda, rumah yang kamu tinggal lalu dibuat surat oleh orang lain, pasti tidak terima.
Apa lagi seperti ini kami tidak pernah memberi surat kuasa ke pak Muharam, kenapa pak Muharam bisa masukkan hak kami ini di globalnya dia. Ini yang bikin kami tidak mau,” imbuh Dibar.
Alasan lain Dibar dan Syaharin meminta pencabutan tandatangan berita acara tahun 2019 karena saat itu diteken dalam kondisi emosi.
“Maka oleh sebab itu saya minta dengan jelas kemarin itu saya mohon dibuatkan surat pencabutan tanda tangan itu. Saya akan tanda tangan ulang di depan pak Kapolsek atau beberapa pihak di situ. Tapi kan mereka tidak mau,” katanya.
Dibar mengisahkan, awal 2019 ia dilaporkan oleh manajemen PT KHL ke Polsek Damai dengan tuduhan menutup kantor perusahaan. Padahal yang melakukan penutupan kantor orang lain. Bulan agustus 2019 ia dipanggil pihak kepolisian untuk diminta keterangan terkait penutupan kantor, sekaligus mediasi terkait lahan.
Dalam mediasi itu juga hadir Stepanus Muharam dan sejumlah pihak. Dibar mengaku kesal dengan pernyataan Muharam yang tidak mengakui hak kelolah tanah warisan keluarganya.
“Disitu saya marah karena Muharam itu yang seperti dia bilang kemarin juga, dia tidak merasa berbatasan sama saya. Jadi kalau Dibar itu tidak ada hak sama sekali di situ katanya. Nah di situ karena saya orang bodoh, terpancing emosi. Akhirnya asal tanda tangan,” urai pria 57 tahun tersebut.
Tidak hanya itu, dia merasa heran karena kuburan keluarganya juga tidak diakui Muharam hingga akhirnya digusur perusahaan.
“Sampai saya tanya disitu kubur bapaknya siapa. Ya pak Muharam diam aja. Kemudian dia bilang tidak berbatas dengan saya, ya jelas karena lahan saya ada ditengah. Sedangkan pinggiran yang 600 ha diglobal itu kan bilangnya di sungai,” tukas Dibar.
Sementara Syaharin merasa pemerintah kampung punya andil dalam mengeluarkan surat tanah. Seyogyanya sebagai aparat kampung apalagi masih ada hubungan keluarga, pemerintah setempat melindungi hak-hak masyarakatnya.
Pokok permasalahan menurut dia bukan ada dan tidaknya surat tanah atau SPPAT. Melainkan proses untuk mendapatkan surat tanah tersebut.
Sebab praktik pengglobalan atau pelepasan tanah orang lain secara sepihak tidak saja merugikan masyarakat tetapi mencederai rasa keadilan sosial.
“Harapan kami pemerintah bisa menanggapi yang kami bicarakan di media. Ditelusuri surat-menyurat itu. Dan kami minta bisa diukur ulang. Lokasi-lokasi lahan kami keluar dari global pak Muharam.
“Kasihan kami masyarakat kecil ini. Orang-orang di kampung yang sudah tidak punya tanah, mau tinggal dimana,” keluh Syaharin.
Syaharin dan Dibar merasa janggal ketika pemerintah desa hingga camat mengesahkan surat tanah perorangan hingga ratusan bahkan ribuan hektare.
“Itulah sebabnya kami minta itu ditelusuri benar tidak kah surat SPPAT global ini tadi. Mulai dari hektarnya apakah itu sudah benarkah sesuai aturan dari BPN. Karena kami dengar itu kan bahwa dari BPN hanya sebatas 5 hektar per surat perorangan.
Loh kenapa ini bisa ada yang sampai ratusan hektar, jadi dasarnya itu dari mana sebenarnya, mereka ada hak sampai sebesar itu. Kok petinggi, kepala adat sama BPK ketua RT sampai Camat itu kok berani tanda tangan,” tanya Dibar dan Syaharin bernada heran.
Dua kakak beradik ini tidak ingin ada gesekan diantara sesama warga soal klaim mengklaim lahan. Sehingga pemerintah, DPRD hingga aparat keamanan mestinya bersikap bijak dan arif terhadap keluhan masyarakat.
Apalagi ketika berhadapan dengan perusahaan, masyarakat selalu ditantang untuk perkara secara hukum di pengadilan.
“Sebenarnya menurut saya penyelesaian masalah itu bukan cuma pengadilan tapi banyak. Artinya kalau memang mereka itu punya tekad baik pasti bisa diselesaikan. Pertama-tama dari penegak hukum juga kalau mereka berdiri di tengah-tengah antara masyarakat, adil dan merata itu bisa diselesaikan tidak usah di pengadilan.
“Karena kalau ke pengadilan itu mereka kan tahu sendiri kami kan terbatas, kami ini kan orang susah orang lemah. Dari mana kami dapat biaya untuk bawa ke pengadilan. Maka oleh sebab itu mereka ngotot bawa ke pengadilan, karena mereka memperhitungkan kalau kami ini tidak mungkin bisa bawa ke pengadilan,” tutur Dibar dan Syaharin.
Adapun perwakilan PT KHL dalam mediasi di Polsek Damai meminta Dibar Cs menempuh jalur hukum jika merasa hak-haknya dirugikan.
“Kalaupun kami ada pelanggaran disitu ya silakan mereka melaporkan kami. Tapi juga sebaliknya, kalau menurut kami, ada hak kami yang dirugikan oleh mereka ya kami juga punya hak untuk menuntut baik itu pidana maupun perdata,” ucap Humas PT KHL, Edi Susanto.
“Silakan ke pengadilan baik perdata maupun pidana, kalau memang dari pihak manajemen ada terkait kasus pidana. Karena ini sudah terlalu jauh ya kita tetap berupaya ke ranah hukum. Karena dasar perusahaan ini berdiri atas dasar hukum. Izin kita atas dasar hukum tidak asal berdiri semaunya,” sambungnya.
Senada disampaikan Stepanus Muharam. Dia mengaku hanya tunggu di Pengadilan.
“Kita tunggu aja di panitera hasilnya disana, baru kita buka. Kalau disini saya belum berani buka. Ini langkah mediasi. Pak Kapolsek dan pak Danramil masih berunding karena yang bersangkutan pulang, kan belum selesai. Karena pengadilan kelas dua Kutai Barat ada kita tunggu di sana. Itu aja,” sebut Muharam saat dikonfirmasi RRI usai mediasi di kantor Polsek Damai.
“Saya tegaskan bahwa saya tidak berpihak pada siapapun. Artinya kami murni memfasilitasi demi mediasi ini supaya masalahnya selesai. Pak Dibar dan Syaharin minta supaya berita acara (tahun 2019) itu dicabut, apa dasarnya dicabut ? Alasannya dicabut juga tidak mau disampaikan,” papar Sunarto.
Karena mediasi gagal maka Kapolsek meminta Dibar dan Syaharin menempuh jalur hukum seperti yang diinginkan Muharam sebagai lawan perkara maupun PT KHL.
“Saya sudah kasi aba-aba bahwa kalau mau menempuh jalur hukum jangan membuat kegiatan yang menghalang-halangi pekerjaan perusahaan,” tegasnya.
Meski begitu Polisi mempersilakan Dibar melaporkan jika merasa hak-haknya tidak diakui perusahaan.
“Saya sih maunya masalahnya ini bisa selesai tidak ada yang dirugikan baik secara materil maupun pidana. Kalau merasa dirugikan lapor aja kita akan tangani. Kalau nda berani disini lapor ke Polres. Mongggo, silakan,” pungkasnya. (*/rls/ktb/red)