SENDAWAR || Perusahaan Kelapa sawit PT Ketapang Hijau Lestari (KHL) bertindak arogan dengan masyarakat kampung Besiq Kecamatan Damai Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur.
Bagaimana tidak, PT KHL menutup akses ke sebuah rumah milik masyarakat yang letaknya tepat berada di tengah kebun perusahaan. Yaitu rumah milik Syahrin dan Dibar warga RT 3 Kampug Besik kecamatan Damai.
Pantauan awak media, perusahaan sengaja menggali lubang besar di kedua sisi jalan menuju rumah dan ladang masyarakat. Alhasil pemilik rumah tidak bisa keluar masuk menggunakan kendaraan bermotor. Padahal jalan itu jadi satu-satunya akses bagi satu keluarga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemilik rumah Syahrin, di rumah yang diblokir perusahaan mengaku penutupan jalan itu dilakukan tanggal 30 Oktober, saat dirinya tidak berada di tempat.
Dia kaget saat pulang ke rumah yang jadi satu-satunya peninggalan tersisa itu sudah ada lubang besar yang digali menggunakan ekscavator.
“Sepulang dari Barong itu nyampe ke rumah saya di sini ada karyawan bilang turunan di rumah bapak dibawah Itu dipotong, digali mereka pakai eksa,” jelas Syahrin di lokasi kejadian.
Syahrin mengaku jalan yang ditutup perusahaan itu awalnya adalah jalan stapak yang biasa digunakan masyarakat ke ladang. Namun setelah masuknya perusahaan sawit jalan tersebut ditutup. Sehingga mau tidak mau masyarakat menggunakan jalan perusahaan.
“Jalan ini ada juga digunakan untuk orang lain termasuk karyawan juga, cuma yang saya heran itu mengapa dipotong di depan rumah saya aja, atas bawahnya. Tujuannya apa itu, sentimennya apa. Apakah ini perbuatan manusia atau perbuatan siapa ini, kami ingin tahu,” ujar Syahrin.
“Kalau dulu memang ada jalan setapak kami, kan ini kebun kami. Kami jalan ke ladang setiap hari itu sebelum ada perusahaan. Setelah ada perusahaan duduk baru ada masalah tapi bukan kami yang bikin masalah. Perusahaan yang bikin masalah,” sambung Sahrin kesal.
Dia mengaku tidak tahu persis alasan perusahaan menutup jalan sepihak. Namun dia menduga kuat PT KHL sengaja memblokir karena Syahrin dan kakaknya Dibar tetap kukuh menahan lokasinya digusur perusahaan sawit.
Dia menilai perusahaan bertindak semena-mena terhadap masyarakat. Padahal lahannya sendiri digusur perusahaan tanpa kompensasi. Bahkan kuburan milik keluarga dan lembo yang diusahakan turun temurun digusur PT KHL.
“Karena kami punya bukti di lapangan. Pertama tanam tumbuh yang dirusak itu yang masih tersisa lembo. Yang kedua kuburan. Sama saksi-saksi batas, kami bisa panggil semua saksi batas,” ungkapnya.
“Sampai sekarang pun kami mau cari kemana arah itu tapi tidak dapat apa-apa. Bawa ke pengurus kampung tidak ada juga tanggapan apalagi pemerintah kabupaten. Jadi kami tidak tahu kemana arah kami cari, cuma kami merasa dirugikan oleh perusahaan PT Ketapang Hijau Lestari,” lanjut pria dengan 4 orang anak itu.
Senada diungkapkan Dibar, kakak Syahrin. Dia mengatakan tanah yang kini ditempati keluarganya dijual oleh oknum warga ke perusahaan sekitar tahun 2014.
Sementara perusahaan dan pemerintah kampung Besiq bukannya mencari kebenaran data dan fakta lapangan siapa pemilik sebenarnya, tetapi malah ikut-ikutan mengglobalkan lahan masyarakat sekitar 600 hektar kepada satu pemilik.
“Ya inilah bentuknya sampai terakhir jalannya dipotong oleh pihak perusahaan. Kalau lahan kami yang bermasalah ini masuk global namanya pak Stepanus Muharram. Punya kami hampir 150 hektare,” jelas Dibar.
Dia mengaku sejak awal dirinya dan sejumlah pemilik lahan lainnya menolak tanah mereka diglobalkan ke satu orang. Karena mereka takut tidak diakui perusahaan. Baik sebagai pemilik lahan maupun petani plasma.
Namun yang ditakutkan Dibar dan Syahrin itu benar-benar terjadi. Sebab ada dua nama yang tercatat mengglobalkan tanah warga. Masing-masing Muharam 600 ha lebih dan Sinardi 1000 ha lebih.
“Menurut keterangan dari pihak perusahaan bahwa itu masuk global Pak Muharam. Jadi masalah pembayaran kami tidak tahu karena kami tidak pernah dikasih uangnya,” sebut Dibar.
Dia menambahkan, sekitar tahun 2014 hingga 2016, PT Ketapang Hijau Lestari beberapa kali melakukan sosialisasi pembebasan lahan dengan masyarakat. Saat sosialisasi tersebut warga diminta menandatangani daftar hadir.
Kemungkinan daftar hadir itu dipakai perangkat kampung, lembaga adat dan perusahaan sebagai dasar persetujuan warga untuk mengglobalkan tanah. Padahal banyak warga yang menolak.
“Masyarakat menolak karena menurut kami ukuran global itu menghilangkan hak seseorang, hak kelola. Dan setahu kami tidak mungkin ada orang yang bisa menjual hak orang lain. Jadi kami tidak sepakat dengan global itu tapi mereka manfaatkan daftar hadir kami itu sebagai barang bukti.
Saya pernah telpon sama Pak Rodi (kepala desa Besiq), pak Rodi menyatakan dasar dia sampai berani tanda tangan di surat global mereka itu karena ada kesepakatan itu dibilang waktu rapat di tempat Pak Muharram. Kesepakatan hampir 150 orang. Padahal semua kami nolak. Tapi karena kami sudah tanda tangan daftar hadir maka itu bisa dijadikan barang bukti mereka bahwa itu kesepakatan kami,” papar lelaki dengan tiga orang anak tersebut.
Dibar dan keluarganya kini kehilangan arah. Pasalnya dari ratusan hektar lahan yang diklaim miliknya itu sudah dugusur perusahaan. Tinggal sekitar 3 ha yang kini jadi tempat tinggal dan berladang.
Berulang kali mendatangi kepala kampung dan lembaga adat, namun semuanya mentok.
“Kami tidak tahu kemana kami harus berteduhnya, berlindungnya. Kemana kami cari jalan keluarnya. Karena kami masyarakat biasa. Kami kan minta dipertanggungjawabkan oleh pihak perusahaan atau pihak Muharram yang globalkan ini yang merusak hati kami.
Sudah sekian lamanya sampai hari ini belum ada titik temunya belum ada penyelesaian atau pengakuan dari pihak perusahaan untuk membayar itu. Kalau memang perusahaan tidak siap untuk membayar hak kami ini, ya mohon maaf kami minta kembali hak kami masyarakat,” keluh Dibar meratapi nasibnya.
Dibar dan keluarganya kini hanya punya secercah harapan. Yaitu wakil rakyat di DPR, Bupati bahkan Kapolri dan presiden untuk mendengar rintihan dan keluhan mereka.
“Saya mengharap dari bupati juga bisa ada perhatian ada kepeduliannya terhadap masyarakat itu. Kalau memang bupati mengingat bahwa ini masyarakat Besiq ini masyarakatnya sendiri, kemudian warga desa sendiri jangan sampai warga masyarakat ini merasa kecewa,” tukas pria 57 tahun itu.
“Kami juga berharap dari DPR juga jangan tinggal diam, karena menurut kami masyarakat ini sudah merugikan kami. Sekian lamanya mulai dari awal penggusuran sawit sampai hari ini kami tidak pernah menikmati hasilnya. Tidak pernah dibilang mereka duduk duduk manis sekarang justru penduduk menangis,” tandasnya.
Dibar dan Syahrin berharap keluhannya itu didengar pemerintah pusat. Sebab masih banyak masyarakat yang dirugikan tetapi takut bicara.
“Mudahan bapak Presiden Pak Jokowi mendengar apa keluhan kami masyarakat ini bahwa kami merasa dirugikan oleh pihak perusahaan tolong kami pak.
Saya minta juga sama bapak Kapolri tolong jangan sampai aparatnya terlalu dalam terlibat persoalan perusahaan ini. Karena ketika masyarakat mau berurusan itu tidak berhadapan sama perusahaan tapi berhadapan sama aparat, berhadapan sama penegak hukum. Maka oleh sebab itu saya bilang aparat terlalu jauh masuk ke dalam persoalan perusahaan sehingga apa yang kami mau berurusan itu semuanya mentok,” imbuh Dibar.
Dia mengaku banyak masyarakat yang protes dengan sistem global tanah yang dimainkan perusahaan. Tetapi mereka takut bersuara, karena tak ingin berurusan dengan hukum.
“Mereka takut penjara, karena diancam-ancam. Dan banyak keluarga ini yang menakut-nakuti mereka. Yang tidak takut penjara itu hanya kami dua adik saja, kami dua tidak takut penjara karena demi hak. Jadi apapun resikonya kami juga tetap hadapi,” pungkasnya.
Sementara kepala kampung Besiq Rodi, belum berhasil dihubungi media. Hanya saja warga mengaku sang kades jarang di tempat.
“Petinggi (kepala kampung) tinggalnya di Lai (Kecamatan Barong Tongkok) di kota sana. Kalau ada urusan aja baru datang,” ujar warga Besiq.
Sedangkan Muharam yang didatangi awak media di kediamannya sedang berada di luar. Dihubungi ponselnya juga tak tersambung.
Kemudian manajemen PT KHL menurut warga Besiq memiliki kantor di wilayah kampung Sumber Sari kecamatan Barong Tongkok, ibu kota kabupaten. Tetapi saat didatangi awak media tak satupun orang yang bisa ditemui. Sedangkan nomor telpon bagian humas semua tidak bisa dihubungi. (*/rls/swr/tim/red)