LINTAS KALIMANTAN | Pertemuan terkait tuntutan lahan plasma 20% dari kebun inti PT Agro Lestari Sentosa (ALS) di wilayah Tumbang Talaken, Kecamatan Manuhing, Kabupaten Gunung Mas, kembali menemui jalan buntu. Pertemuan yang berlangsung pada Selasa, 21 Januari 2025, di ruang pertemuan Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah itu dihadiri oleh pihak dinas terkait, perwakilan manajemen PT ALS, dan tujuh orang koordinator aspirasi masyarakat setempat, dipandu oleh Silvanus Dio dari IKT Riwut.Rapat tersebut dipimpin langsung oleh Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah, Rizki Badjuri. Meski demikian, pihak koordinator aspirasi masyarakat menyayangkan hasil pembahasan yang dianggap tidak sesuai dengan tuntutan yang telah disampaikan sebelumnya.Menurut koordinator aspirasi masyarakat, surat undangan pertemuan pertama dari Dinas Perkebunan Provinsi tidak mencantumkan mereka sebagai perwakilan. Namun, mereka tetap hadir untuk menghormati undangan tersebut. Ironisnya, pada surat undangan kedua yang diterima melalui pihak PT ALS, isi surat dianggap mengalihkan perhatian dari permasalahan pokok, yaitu tuntutan atas hak plasma 20%.Tuntutan masyarakat mengacu pada kesepakatan yang telah dibuat pada 1 September 2007 antara pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi, perusahaan, dan tokoh masyarakat terkait kewajiban perusahaan menyediakan 20% lahan plasma. Namun, hingga saat ini, kesepakatan tersebut belum terealisasi.“Kami sangat kecewa karena apa yang dibahas tidak sesuai dengan isi surat tuntutan kami. Kami meminta Pemprov Kalteng segera membentuk tim terpadu yang melibatkan pemerintah provinsi, kabupaten, DPRD, tokoh masyarakat, Demang Kepala Adat, Dewan Adat Dayak (DAD), dan Majelis Adat Dayak Nasional (MADN),” ujar salah satu koordinator.Masyarakat memberikan tenggat waktu satu bulan untuk pembentukan tim terpadu tersebut. Jika tuntutan mereka tidak dipenuhi dalam waktu yang ditentukan, mereka mengancam akan mengambil langkah hukum adat.“Kami tidak lagi hanya menuntut plasma 20%, tetapi akan memasang Hinting Pali di tiga perusahaan perkebunan yang berada di wilayah kami. Kami akan mengukur tanah ulayat berdasarkan hukum adat dan UU Perkebunan No. 39 Tahun 2014. Kami juga akan menuntut perusahaan melalui sidang adat atas pelanggaran perjanjian 1 September 2007,” tegas para koordinator.Pihak masyarakat meminta pemerintah dan perusahaan untuk segera menyelesaikan masalah ini secara adil, jujur, dan bijaksana. Jika tidak, mereka siap memperjuangkan hak mereka melalui jalur adat dan hukum.Berita ini menjadi perhatian besar karena menyangkut konflik agraria yang sudah bertahun-tahun belum terselesaikan. Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dan pihak perusahaan diharapkan segera mengambil langkah konkret demi menghindari eskalasi konflik yang lebih besar.(*/rls/sgn/red).