LINTASKALIMANTAN.CO || Pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat, pada kenyataannya masih terbentur oleh sistem penegakan hukum yang belum mampu menerjemahkan jaminan konstitusional ke dalam peraturan operasional teknis.
Akibatnya, respons negara terhadap perjuangan masyarakat adat yang membela diri dan mempertahankan hak ulayat selalu diwarnai kriminalisasi, termasuk pembela masyarakat adatnya sebagai human right defenders.
Persoalan ini terungkap dalam diskusi publik, pada rangkaian Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) bekerjasama dengan Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (PERADI PERGERAKAN), berlangsung di Joglo Keadilan, Jakarta, Rabu (14/9/2022).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam diskusi itu, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, menyatakan bahwa dalam banyak kasus, perjuangan masyarakat adat terhambat oleh paradigma negara yang selalu menilai bahwa eksistensi masyarakat adat hanya diakui, bilamana telah terbit peraturan tentang pengakuan masyarakat adat.
“Masyarakat adat itu sudah hidup secara turun temurun dalam wilayah adatnya, jauh sebelum negara ini berdiri. Kalau negara tidak mengakui mereka (masyarakat adat) beserta hak-hak kolektifnya. Apalagi beralasan, tidak adanya peraturan daerah tentang pengakuan masyarakat adat, itu adalah paradigma negara yang keliru,” kata Rukka memaparkan.
Hal senada juga diungkapkan Ketua Dewan Pimpinan Pusat Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (Peradi Pergerakan), Sugeng Teguh Santoso, SH. Menurutnya, dengan macetnya Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat menunjukkan eksistensi masyarakat adat, terkesan seperti antara ada dan tiada.
“Masyarakat adat itu seperti antara ada dan tiada. Sebab, jaminan pengakuan dan penghormatan konstitusional melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, tidak ditindaklanjuti dalam peraturan operasional, yakni undang-undang. Terbukti dengan tak kunjung disahkannya RUU Masyarakat Adat yang terparkir sudah puluhan tahun,” cetus Sugeng.
Ia menjelaskan, UUD Tahun 1945 sebagai landasan konstitusional, telah menjamin pengakuan dan pengormatan Masyarakat Adat melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, yang berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Macetnya pengesahan RUU Masyarakat Adat, nilai Sugeng diakibatkan oleh banyaknya kepentingan korporasi yang terganggu bilamana RUU tersebut disahkan. Persoalan ini, tekannya lagi akan menjadi tantangan tersendiri bagi para pembela hak-hak masyarakat adat.
“Upaya mewujudkan pengesahan RUU Masyarakat Adat, merupakan tantangan dan harus dihadapi oleh para peserta PKPA PPMAN Angkatan I ini, yang diharapkan menjadi advokat pembela hak-hak masyarakat adat. Tidak ada hak terwujud, tanpa perjuangan mewujudkannya,” pesan dia.
Tingkatkan Kapasitas Kader Masyarakat Adat
Sementara itu, masih dalam rangkaian Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), Ketua Umum PPMAN, Syamsul Alam Agus, SH, menyatakan bahwa, tujuan penyelenggaraan PKPA ini sebagai bentuk respons untuk memperkuat akses keadilan bagi masyarakat adat yang berhadapan langsung dengan hukum.
PKPA, terang dia, merupakan salah satu syarat utama untuk menjadi advokat, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat khususnya Pasal 2 ayat (1), yang mengatur bahwa yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana berlatar belakang pendidikan tinggi hukum.
Kemudian, setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat dan melaksankan magang selama 2 tahun terus menerus pada kantor advokat/organisasi bantuan hukum dan telah dinyatakan lulus ujian advokat.
“Untuk itu lah maksud penting penyelenggaraan PKPA ini, adalah dalam rangka memfasilitasi peningkatan kapasitas kader masyarakat adat, untuk membela kasus-kasus hukum yang dihadapi oleh anggota komunitas adat,” tegas Syamsul Alam. (gs/red/lk)